Fakta Dokter IGD Sebagai Tombak Ujung Penanganan Covid-19

Fakta Dokter IGD Sebagai Tombak Ujung Penanganan Covid-19

Para ahli  mengatakan penanganan pendemi COVID-19 di Indonesia harus dikerjakan dari semua sektor. Tentunya dengan tenaga medis yang berada di gerbang terdepan penanggulangan pendemi ini.

Saat ini, 29 hari berlalu sejak pertama kali Indonesia mengonfirmasi kasus pertam positif COVID-19 di Indonesia. Gelombang pendemi COVID-19 di Indonesia terus meningkat. Tenaga medis kewalahan, sementara energi mesti dipompa sedemikian rupa.

"Kami ini seperti sedang berperang tapi tidak memiliki senjata yang lengkap, tidak ada pasokan senjata," kata Dokter Tri Maharani Jumat (27/1). Ia adalah spesialis emergency yanga kini bekerja sebagai kepala depertemen Instalasi Gawat Darurat di Rumah Sakit Umum Daha Husada, Kediri.

Cerita dokter spesialis emergency dalam penangana COVID-19 di Indonesia.

Dokter Tri Maharani Bercerita penanganan COVID-19 yang ia lakukan. Bagaimana rumah sakit tempatnya bekerja kebanjiran Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan.

ODP adalah orang yang memiliki riwayat bepergian ke tempat yang terjangkit COVID-19 atau berkontak dengan pasieb positif, tetapi belum menunjukkan gejala sakit.

Sedangkan PDP adalah orang yang telah menungjukkan gejala COVID-19 seperti pilek, batuk , sesak nafas, sakit ternggorokan, pernah bepergian ke tempat terjangkit COVID-19, atau pernah berinteraksi dengan pasien positif.

Pasien-pasien tersebut harus ia cerikan rumah sakit rujukan untuk penanganan lebih lanjut dan itu bukan perkara mudah. Rumah sakit rujukan di kediri semua penuh padahal pasien harus segera mendapatkan perawatan di ruang ICU.

Arus pasien OPD dan PDP di Indoenesia terus bertambah, belum lagi penanganan pasien lain selain COVID-19.

Penigkatnya hingga 200 pasien dari hari-hari normal, tetapi tenaga yang bekerja jumlah tenaga tidak bertambah. Setiap sifatnya hanya ada tiga perawat, satu dokter jaga, dan dokter Mahasebagai kepala.


Bahkan beberapa hari ini dr. Maha, panggilan Maharani, bahkan harus bekerja tiga sif demi mengurus kasus COVID-19 di rumah sakitnya.

" Kalau saya tidak masalah samapai tiga sif, perawat dan dokter jaga saya itu yang harus dijaga tenaga dan pikirannya supaya bisa mengurus pasien dengan maksimak," unjar dr. Maha.

Jaga tenaga medis untuk tetap bisa berada di tombak terdepan penanganan COVID-19

Jika penanganan COVID-19 di Indonesia ini diibaratkan perang, maka tenaga medis adalah pasukan utama di barisan paling depan. Polisi mereka sangan rentan. Oleh karenaya, maka harus dilengkapai dengan senjata dan alat pertahanan yang lengkap.

Dilansir dari pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), hingga Senin(6/4) setidaknya 24 dokter  meninggal dunia karena COVID-19. Mereka terdiri dari 18 dokter 6 dokter didi.

Menurut dr. Maha, kelengkapan alat pelindung diri (APD) adalah salah satu hal penting yang harus diberikan kepada petugas kesehatan.

Dokter Maha yang juga berkerja sebagai advisor World Health Organiztion (WHO) untuk ksus gigitan ular mengatakan bahwa para petugas medis di Indonesia harus diberikan keamanan dalam penanganan kasusu COVID-19.

Rumah sakit tempatnya bekerja adalah rumah sakit rujukan COVID-19, di mana mereka menerima pasien yang tidak diketahui positif COVID-19 atau tidak. Prinsipnya , perlakuan pada semua pasien itu di anggap positif, yakni dengan menggunakan APD lengkap, menjaga jarak, meminimalisasi kontak.

Tapi penerapan di lapangan tidak berjalan dengan ideal.

“Saat ini APD, masker, dan alkohol, semua serba kekurangan. Jika kondisinya seperti ini, bagaimana kami bisa fokus pada penanganan pasien?” tutur dr. Maha.

Apalagi setelah pasien dialihkan ke rumah sakit rujukan, para petugas medis di rumah sakit prarujukan tidak mendapatkan informasi apakah pasien tersebut positif atau negatif. Hal tersebut membuat kekhawatiran para petugas medis yang telah berkontak sebelumnya. 

Petugas medis harus fokus pada penanganan pasien walaupun harus mengeluarkan tenaga ekstra dan tetap profesional di tengah minimnya fasilitas pelindung yang memadai.

“Prinsip saya adalah membuat mereka hanya memikirkan pasien saat bekerja, memerhatikan semua keluhan pasien, tanpa khawatir kelengkapan APD, tanpa memikirkan harus makan apa, dan hal-hal lain,” tutur dr. Maha. 

Kebutuhan-kebutuhan tersebut juga supaya petugas kesehatan terhindar dari kelelahan, kurang vitamin, dan rasa cemas. Tiga hal yang sangat penting dalam menjaga fokus dalam menjalankan tugas.


Satu bulan penanganan pendemi Covid-19 di Indonesia

Bencana besar di Indonesia sebenarnya bukan hal baru, dari bencana alam hingga bencana nonalam yang diakibatkanwabah penyakit.

"Tapi disaster yang diakibatkan oleh virus nyatanya tidak mampu membuat kita belajar tentang mitigasi dan prehospital yang bagus," ujar dr. Maha yang selama lebih dari 20 tahun kariernya didedikasikan pada penanganan medis di wilayah bencana.

Dokter Maha memberi catatan pada penanganan dan intervensi COVID-19 yang selama ini telah dilakukan di Indonesia.

" Indonesia bisa dibilang negara terakhir yang terkena COBID-19, selalin China itu ada Korea Selatan, Singapura, Vietnam yang lebih dulu kena. Kepada kita semua tidak belajar sejak awal dan mengambil langkah?" ucap dr Maha menyesali.

"Seandainya sejak Desember Indonesia sudah lebih dulu mitigasi. Mulai dari pengendalian harga jual masker dan APD, hingga pelatihan petungas medis,"lanjutnya.

Dalam satu bulan, buku pedoman dan petunjuk yang dikeluarkan Kementrian Kesehatan untuk penanganan COVID-19 di Indonesia sudah beganti empat kali. Ini menurut dr. Maha salah satu bukti kecil betapa Indonesia gagap menghadapi COVID-19.

Prediksi pendemi COVID-19 di Indonesia

Beberapa penelitian membuat permodalan untuk mengetahui kepan waktu puncak penyebaran COVID-19 di Indonesia.

Salah satunya studi yang dilakukan penelitian ITB Donny Martini. Ia membuat permodelan menggunakan dua parameter : tingkat penyebaran dan jumlah populasi.

Studi tersebut memprediksi puncak penyebaran pendemi coronavirus terjadi pada pertengahan Ramadan, antara April dan Mei.

Hanya saja, prediksi tersebut bisa lebih cepat dan tepat atau jauh lebih lama, tergantung intervensi yang dilakukan semua sektor.

Prdiksi tersebut harus diikuti dengan langkah-langkah penanganan tepat dan terintegrasi. Menurut dr. Maha, pendemi COVID-19 di Indonesia bisa berakhir dengan cepat jika dalam intervensi pennangannya ada ikatan yang membuat semua sektor bersinergi dengan baik.

Terkait dalam intervensi penanganan kesehatan, berikut saran dari dr. Maha.

Agar tidak terjadi penumpukan OPD dan DPD, penularan pasien( screening) dimulai dari fasilitas kesehatan tingkat satu.

Dokter Maha menyarankan agar petugas kesehatan dilatih untuk pemeriksaan fisik laboratorium sederhana. Berikan puskesmas kemudahan mengakses alat pemeriksaan penunjang seperti alat rontgen atau langsung mendistribusikan rapid test yang salah dibeli pemerintah.

"Memang rapid tets hasil akurasinya 30% , tapi nggak apa-apa. Itu bisa untuk penapisan, screening istilahnya," ujar dr Maha."Screening yang dumulai dari bawah, dari akar rumput. Begitu yang baik dalam mitigasi."

Passien dengan hasil tes negatif dari screening tersebut masih akan berada dalam pengawasan untuk beberapa hari, sedangkan pasien dengan hasil positif dinaikan ke rumah tipe D dan Tipe C.

Dari satu, pasien akan melakukan tes kedua. Jika tes kedua positif , akan naik ke tes Polymerase chain Reaction (PCR) di rumah sakit tipe B dan tipe A.

Yang terpenting adalah membuat jaringan kuat untuk menyambungkan komunikasi anatara puskesmas, rumahsakit tipe D, tipe C, tipe B, dan tipe A.

" Jangan semuanya diresahkan ke Eijkman ataupun Litbangkes. Mereka nggak akan sanggup. Indonesia memiliki banyak ahli patologi klinik. Kalau nggak bisa, lakukan online training sebanyak dua sampai tiga kali langsung bisa," ujar dr. Maha.

Eijkman Institut dan Badan penelitian dan Pengembangan Kesehatan ( Litbangkes) adalah dua lembaga yang didediksikan pemerintah untuk proses screening COVID-19.

Menurut dr. Maha, adalah hal biasa untuk konsultasi-konsultasi jarak jauh pada senior dan ahli-ahli di dunia medis.

Pemenuhan obat dan alat untuk mengatasi gejala yang sifatnya mengancam jiwa

COVID-19 adalah virus baru yang masih belum dikenali sepenuhnya oleh para ilmuwan. Belum ada obat yang betul-betul bisa mengobati infeksi virus SARS-CoV-2.

Menurut dr. Maha, Indonesia tidak boleh bergantung pada penelitian yang dilakukan negara lain, terutama soal obat. Hal ini karena penerapannya pada pasien COVID-19 di Indonesia bisa jadi berbeda. Perbedaan itu bisa karena penyakit penyerta, sistem imun, atau kondisi lainnya.

Sejauh ini, kunci dari keselamatan dan kesembuhan pasien COVID-19 adalah penanganan cepat pada gejala yang timbul tidak spesifik pada penggunaan obat tertentu.

“Jadi artinya, beli atau sediakan obat dan alat untuk penanganan yang sifatnya life threatening (mengancam jiwa). Pada masalah coronavirus ini, penyebab kematian terbanyak adalah pneumonia dan gagal nafas. Itu berarti Indonesia harus banyak beli ventilator,” ujar dr. Maha.

Yang terpenting menurutnya adalah menyelamatkan nyawa pasien. Dokter Maha mengambil contoh Singapura yang hingga saat ini tingkat kematian akibat COVID-19 sangat rendah.

“Saya gunakan ventilator karena kematian terbesar itu disebabkan gagal nafas. Itu dulu yang ditangani, menyelamatkan nyawa,” tutur dr. Maha.

Serahkan penanganan pasien pada ahlinya, pemerintah bikin sistem dan kebijakannya

Setelah menyediakan obat dan alat yang dibutuhkan untuk penanganan life threatening, hal selanjutnya yang dilakukan adalah menyerahkan penanganan pasien COVID-19 pada tim dokter.

“Biarkan para dokter melakukan pekerjaan dengan art and knowledge (seni dan pengetahuan). Mereka melakukannya bersama kolegium dan ikatan dokter,” kata dr. Maha.

Para dokter spesialis berdiskusi dengan badan organisasinya masing-masing untuk membahas penanganan paling tepat untuk pasiennya.

“Dokter akan mengerti efek COVID-19 pada pasien ini menyerang apa, apa yang harus dilakukan, dan harus konsultasi ke ahli mana. Dokter tidak akan ngawur memberikan obat, jadi biarkan mereka menentukan. Tidak perlulah membeli obat yang kata negara lain ampuh,” jelas dr. Maha.

Obat dan alat untuk penanganan gejala yang mengancam jiwa, screening yang dimulai dari akar rumput dan alur rujukan yang tidak rumit, pemenuhan kebutuhan petugas medis, serta penyerahan penanganan pasien pada tim medis menjadi empat aspek yang menjadi catatan dari dr. Maha.

Aspek tersebut harus diikat dengan regulasi, dan tugas pemerintahlah untuk membuat regulasi itu.